Aslam Rais (Sumber: Dokumen Pribadi) |
Sudah menjadi rahasia umum. Terjun dalam arena politik membutuhkan modal yang cukup banyak. Seperti di antaranya harus cerdas, credible, accountable, punya jaringan yang luas, bermoral, amanah, dan punya uang banyak. Namun demikian yang terakhir (uang) selalu menjadi permasalahan tersendiri. Terutama bagi mereka yang baru terjun dalam dunia politik praktis dan tidak mempunyai cukup resources untuk itu.
Uang dan politik ibarat makanan (nasi) dan lauk. Keduanya harus selalu seiring dan seirama. Nasi tanpa lauk yang menyertainya hanya akan membuat makan tidak berasa. Begitu pun terjun dalam dunia politik praktis tanpa mempunyai uang hanya akan membuat imaginasi kekuasaan semakin menjauh.
Hal ini berarti bahwa bagi mereka yang ingin terjun dalam dunia politik mereka harus mempunyai uang yang cukup. Sebab, uang adalah salah satu faktor determinan untuk bisa maju dalam kancah politik. Berangkat dari dasar pemikiran ini, pertanyaannya adalah, seberapa pentingkah uang dalam politik? Dan, sejauhmana uang memberi pengaruh terhadap kehidupan politik?
Politik Uang
Tidak bisa dipungkiri uang memegang peranan penting dalam proses-proses politik. Bagaimana tidak. Seseorang yang tadinya tidak popular dan tidak punya kapasitas dan kredibilitas bisa dengan mudah menggapai kekuasaan yang diperebutkan banyak orang hanya dengan benda yang bernama uang.
Bagi mereka yang mempunyai uang mereka tidak akan terlampau sulit untuk bisa mempengaruhi masyarakat pemilih dengan beragam cara seperti pemanfaatan media (iklan, siaran radio dan semacamnya) untuk membangun citra diri dan mensosialisasikan visi dan misi mereka.
Pada saat yang sama bagi mereka yang tidak punya uang ruang gerak mereka akan dengan sendirinya terbatas sehingga kesempatan untuk memenangi pertarungan semakin susah meskipun tidak ada garansi bahwa orang yang mempunyai uang banyak akan selalu menang dalam pertarungan perebutan kekuasaan.
Oleh karena itu, tidak ada garansi sebagai pemenang banyak orang kerap kali menggunakan jalan pintas untuk menggapai kekuasaan dengan melakukan praktek-praktek kotor seperti yang kita kenal dengan sebutan "money politics." Semua telah mafhum di Indonesia fenomena politik uang masih menggejala sedemikian akut sehingga ritme permainan politik sangat susah untuk dijauhkan dari praktek-praktek politik uang.
Meskipun tidak bisa dinafikan produk undang-undang termasuk perangkat sistem pengawasan terhadap praktek-praktek "money politics" sudah dibentuk. Namun, pada kenyataanya praktek "money politics" masih sangat susah untuk dibendung. Agaknya fenomena ini masih tetap menjadi "trend" yang selalu menghiasi wajah perpolitikan Indonesia baik di tingkat nasional maupun lokal.
Kita kerap kali mendengar dan membaca informasi tentang maraknya politik uang di mana seorang dari semua unsur seperti politisi, pengusaha, bahkan akademisi melakukan praktek semacam ini. Dalam konteks yang demikian uang telah menjadi dewa penolong dan mantra ampuh yang seolah menjadi satu-satunya instrument fundamental untuk mendapatkan kekuasaan.
Melihat realitas tersebut politik uang (money politics) sangat jelas memberikan andil dalam menyuburkan benih-benih kebobrokan moral masyarakat. Memang uang merupakan benda mati. Namun, uang seperti halnya pisau. Tergantung siapa dan untuk apa benda tersebut dipakai.
Uang bisa memberikan makna positif manakala uang tersebut digunakan untuk kegiatan atau aktivitas yang legal dan mempunyai implikasi positif bagi masyarakat. Begitu pun halnya dengan pisau. Akan memberikan makna positif manakala digunakan untuk kegiatan legal dan memberi dampak positif bagi masyarakat atau si pengguna. Bukan sebaliknya. Untuk mempermulus niat jahat seperti membunuh dan sebagainya. Berangkat dari realitas yang demikian apa sebetulnya uang itu?
Sebagaimana diuraikan di atas uang bisa berkonotasi negatif tergantung pada siapa dan untuk apa uang tersebut digunakan. Terkait dengan hal ini makna uang menurut Macfarlane mempunyai ciri-ciri buruk. Uang menurutnya adalah kejahatan (money is evil). Mengapa demikian? Uang dalam wujudnya yang demikian menurutnya adalah sumber malapetaka sebab uang mewujud dalam bentuknya yang rakus, konsumerisme, dan selalu mencari keberuntungan (profiteer).
Karakteristik yang disebutkan Macfalane merupakan simbol-simbol yang selalu ada dalam wajah Kapitalisme dimana uang tidak membawa dampak positif bagi kehidupan sosial masyarakat. Malah sebaliknya uang menjadi sumber ketidakteraturan sosial (social disorder) sehingga sirkulasinya harus dicegah dan dilawan oleh semua orang.
Tanpa bermaksud mengamini apa yang digambarkan oleh Macfarlane kenyataan di Indonesia saat ini juga tidak jauh berbeda dengan karakteristik di atas. Uang semakin menampakan wujudnya yang buruk ketika dimainkan oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab untuk tujuan-tujuan mencapai kekuasaan. Bagi mereka yang melakukan praktek kotor melalui "money politics" mereka secara tidak langsung telah melakukan kejahatan serta pembodohan terhadap masyarakat.
Imbas yang paling mengenaskan dari praktek politik uang adalah suksesnya para elit menularkan kebiasaan buruk tersebut. Dikatakan sukses karena praktek tersebut sudah mewabah di masyarakat sehingga dalam beberapa hal masyarakat kita sangat tergantung kepada makhluk uang. Terutama ketika mereka harus ikut berpartisipasi dalam politik. Lebih tragis lagi masyarkat sampai tidak mau memberikan suara kalau mereka tidak diberi uang atau bantuan-bantuan yang lain.
Uang Politik
Dalam ranah politik uang merupakan faktor yang sangat penting. Uang bisa memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi terbentuknya keseimbangan demokrasi. Namun, uang juga bisa menjadi bencana manakala pemanfaatanya tidak didasarkan pada aturan legal formal dan cenderung untuk mendanai aktivias-aktivitas ilegal.
Dalam kontek yang demikian uang acap kali menjadi alat membeli suara (baca: money politics). Atau sebagai alat jual beli jabatan yang dilakukan oleh beberapa oknum untuk mengejar kepentingan politik sesaat.
Kita tidak bisa pungkiri di Indonesia menunjukkan bahwa bagi mereka yang mempunyai uang banyak uang sering kali menjadi alat untuk mencapai kekuasaan. Sementara bagi mereka yang tidak berduit mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang tersebut. Kondisi di atas menegaskan bahwa tidak selamanya uang memberikan dampak positif.
Pengaruh uang dalam dunia politik memberikan risiko yang sangat rawan. Setidaknya office of democracy and governance (2003) mencatat ada 4 macam potensi risiko yang kemungkinan besar akan timbul.
Pertama adalah "uneven playing field". Dalam konteks ini uang memberikan dampak pada kompetisi yang tidak sehat antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Asumsi yang dibangun adalah sportivitas permainan politik menjadi kian langka manakala uang hanya dimanfaatkan oleh segelintir kelompok sehingga kondisi tersebut berdampak pada keterbatasan ruang gerak bagi kelompok yang lain yang tidak mempunyai cukup uang.
Kedua adalah "unequal access to the office". Kondisi ini mengisyaratkan bahwa uang telah menciptakan kondisi diskriminatif terhadap politik representasi. Hal ini terjadi sebab kekuasaan hanya dimonopoli oleh segelintir orang yang mempunyai kontribusi uang sangat besar.
Ketiga adalah "co-opted politicians". Uang menciptakan relasi yang tidak seimbang antara pemerintah (sebagai pihak yang menerima uang) dan donator (pihak yang memberi uang). Ironisnya, pemerintah akan berada pada posisi yang lemah.
Kondisi demikian akan terjadi di mana bagi mereka yang telah menyuntikkan dananya. Mereka akan dengan mudah melakukan kooptasi dan intervensi terhadap para birokrat dan politisi sehingga roda pemerintahan tidak lagi independen.
Keempat adalah "tainted politics". Uang berisiko terhadap lahirnya sistem pemerintahan yang korup dan mengesampingkan eksistensi hukum. Pada konteks ini roda pemerintahan bisa berjalan. Namun demikian wibawa pemerintah serta supremasi hukum menjadi barang langka.
Berpijak dari fenomena tersebut untuk mengontrol merajalelanya praktek penyelewengan uang dalam dunia politik harus ada good will dan komitmen semua pihak untuk berusaha keras agar bisa membendung praktek terlarang tersebut.
Aturan dengan mengikutsertakan semangat kredibelitas dan akuntabilitas saja tidak cukup sehingga aspek moral harus ditempatkan di garda terdepan. Moralitas memberi andil yang cukup besar dalam rangka membendung praktek kotor yang kerap muncul dalam dunia politik.
*Penulis adalah Koordinator Komisariat Sulawesi Utara-Gorontalo (Sulut-Go) IHAMAFI Wilayah V (Lima).
0 Komentar